Kalau kita bicara tentang kekayaan budaya Indonesia maka tidak mungkin kita melewatkan satu momen ikonik yang meledak setiap tahun di Bali yaitu tradisi Ogoh-ogoh. Ini bukan sekadar upacara. Ini bukan cuma parade meriah. Ini adalah bentuk nyata dari bagaimana masyarakat Bali melawan segala bentuk kejahatan simbolik dengan semangat yang menyala dari dalam dada. Patung Ogoh-ogoh bukan hanya karya seni raksasa yang diarak keliling desa. Tapi dia adalah simbol keberanian. Simbol perlawanan. Dan simbol bahwa dalam hidup ini selalu ada cara untuk membersihkan diri dari energi negatif yang terus membayang.
Setiap tahun menjelang Hari Raya Nyepi orang-orang di Bali turun ke jalan dengan Ogoh-ogoh yang luar biasa megah dan sering kali menyeramkan. Bayangkan saja patung setinggi beberapa meter yang dibuat dengan detail menakjubkan. Ada yang berbentuk raksasa bertaring. Ada yang menyerupai makhluk mitologi dengan banyak tangan. Ada juga yang terinspirasi dari wujud jahat dalam cerita-cerita tradisional. Tapi semua itu punya satu tujuan utama yaitu melambangkan Bhutakala atau energi negatif yang harus dilenyapkan.
Yang bikin saya kagum bukan cuma bentuknya yang gila-gilaan. Tapi juga proses pembuatannya yang luar biasa rumit. Ogoh-ogoh dibuat dengan tangan sendiri oleh warga setempat. Dimulai dari rangka yang biasanya terbuat dari bambu yang disusun sedemikian rupa. Lalu ditutup dengan kertas dan bahan-bahan ringan lainnya agar bisa diarak. Tapi jangan salah. Ringan bukan berarti asal-asalan. Detail wajahnya bisa bikin merinding. Gerakannya bisa diatur. Bahkan sekarang sudah banyak Ogoh-ogoh yang bisa digerakkan seperti animatronik. Gila bukan main. Ini bukan proyek sepele. Ini adalah proyek seni kolosal yang digarap dengan darah dan keringat.
Yang paling bikin merinding adalah ketika malam pengerupukan tiba. Di sinilah Ogoh-ogoh menunjukkan taringnya. Diarak keliling desa dengan tabuhan gong dan teriakan semangat warga. Ada yang menari. Ada yang membakar kembang api. Semua bergemuruh dalam satu frekuensi yaitu energi pemberani untuk melawan kegelapan. Ini bukan tontonan biasa. Ini adalah pengalaman spiritual yang dibalut dalam semangat komunal yang sangat kental. Dan ketika Ogoh-ogoh akhirnya dibakar maka itulah klimaksnya. Sebuah simbol pembersihan. Sebuah momen pengusiran roh jahat. Dan sebuah pernyataan bahwa yang jahat tidak akan menang selama kita punya keberanian untuk melawannya.
Tapi jangan salah tafsir. Ogoh-ogoh bukan cuma soal mistik dan horor. Dia juga adalah bentuk pendidikan. Anak-anak muda diajak ikut serta dalam pembuatannya. Mereka belajar seni. Mereka belajar kerja tim. Mereka belajar menghargai tradisi. Tidak ada aplikasi digital yang bisa menggantikan pengalaman membangun Ogoh-ogoh dari nol. Ini bukan soal mainan teknologi. Ini soal sentuhan nyata. Ini soal dedikasi. Dan ini soal bagaimana sebuah generasi muda dipertemukan dengan akarnya.
Ogoh-ogoh juga tidak tertinggal oleh zaman. Dia terus berkembang. Bahkan sekarang banyak karya Ogoh-ogoh yang dimasukkan dalam kompetisi. Ada kategori desain. Ada penilaian teknik. Bahkan ada penghargaan untuk pesan moral yang dibawa. Ini adalah bukti bahwa budaya tidak harus beku. Budaya itu harus hidup dan bergerak. Dan Ogoh-ogoh sudah membuktikan bahwa dia bisa terus relevan tanpa kehilangan jiwa aslinya.
Dalam konteks yang lebih luas Ogoh-ogoh juga bisa dibaca sebagai refleksi dari perjuangan manusia melawan sisi gelap dalam dirinya. Bukankah setiap orang punya sisi Bhutakala dalam diri masing-masing? Ego. Amarah. Dengki. Kesombongan. Semua itu adalah energi negatif yang bisa merusak. Dan dengan Ogoh-ogoh kita diajak untuk mengakui bahwa sisi gelap itu nyata. Tapi kita tidak harus tunduk padanya. Kita bisa melawannya. Kita bisa membakarnya. Dan kita bisa memulai lembaran baru dengan hati yang bersih.
Yang bikin saya makin respek adalah semangat kolektif dalam tradisi ini. Tidak ada kasta. Tidak ada yang merasa lebih tinggi. Semua sama. Semua ikut kerja. Semua gotong royong. Dan inilah yang sering kali hilang dalam kehidupan modern. Kita terlalu sibuk dengan urusan pribadi. Terlalu sibuk mengejar target tanpa sadar bahwa yang paling penting adalah rasa memiliki terhadap lingkungan dan sesama. Ogoh-ogoh mengingatkan kita bahwa kebersamaan bukan sekadar slogan. Tapi sesuatu yang bisa diwujudkan dalam aksi nyata.
Dan saya tidak bisa tidak kagum melihat bagaimana warga Bali menjaga tradisi ini dengan hati. Mereka tidak sekadar menjalankan karena kewajiban. Tapi karena cinta. Cinta terhadap leluhur. Cinta terhadap kearifan lokal. Dan cinta terhadap semangat hidup yang bersih dari energi jahat. Tidak banyak tempat di dunia ini yang bisa menjaga nilai tradisional sambil tetap membuka diri terhadap kemajuan. Tapi Bali berhasil melakukannya. Dan Ogoh-ogoh adalah salah satu bukti nyata dari keberhasilan itu.